Penyelenggaraan Ujian nasional tahun 2013 mulai
tingkat SD, SMP, dan SMA sebentar lagi akan segera digelar. Ujian
Nasional , yang memang sejak dari pertama diberlakukan sampai
sekarang belum lepas dari kontroversi. Ada pihak yang mendukung terhadap
pelaksanaan Ujian Nasional, tapi juga tidak sedikit pihak yang menyayangkan atas
diberlakukannya Ujian Nasional dan menghendaki Ujian Nasional sebaiknya ditiadakan.
Tetapi walau demikian adanya, pemerintah melalui kemendikbud tetap pada
keputusan untuk melaksanakan Ujian Nasional sebagai salah satu standar kelulusan.
Kita sebagai pendidik, orang tua ataupun siswa tidak perlu berpolemik
terhadap hal tersebut, toh Ujian Nasional tetap akan dilaksanakan dan kita akan
menghadapinya. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mempersiapkan
matang-matang untuk menghadapinya. Dengan harapan hasil yang akan kita
capai sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Ujian Nasional adalah sistem evaluasi
standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu
tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Kemendikbud, di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas Republik Indonesia nomor
20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Namun terlepas dari kontroversi tersebut, menjelang pelaksanaan Ujian Nasional
biasanya menciptakan stress pada anak. Stress adalah suatu kondisi
ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang (Handoko, 1997:200). Stress yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Stress adalah beban
rohani yang melebihi kemampuan maksimum rohani itu sendiri, sehingga
perbuatan kurang terkontrol secara sehat. Stress tidak selalu buruk,
walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, karena stress memiliki
nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi hasil.
Sebagai contoh, banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja
yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan positif yang
menaikkan mutu pekerjaan mereka dan kepuasan yang mereka dapatkan dari
pekerjaan mereka.
Sedangkan pada siswa yang sedang menghadapi Ujian Nasional, stress antara lain dapat berkaitan dengan :
* Tekanan Orang Tua
Orang tua ingin yang terbaik dengan masa depan anaknya. Untuk mencapai
nilai terbaik, maka orang tua membebani anak-anaknya dengan berbagai
kursus pelajaran yang dapat secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kesehatan anak, istirahatnya, dan perkembangannya. Banyak
orang tua tidak menyadari bahwa membantu si anak merasa relaks justru
akan menyegarkan pikiran dan membantunya belajar dengan lebih baik.
Sebaliknya para orang tua terus membebani anak-anak mereka untuk
mendapatkan prestasi terbaik dan lulus ujian dengan memuaskan.
* Tekanan Guru
Sama seperti orang tua, banyak guru ingin siswanya mendapat nilai
terbaik. Guru selalu mendorong muridnya untuk unggul dalam pelajaran,
terutama jika muridnya berprestasi. Mengapa guru juga ikut menekan
murid-muridnya mendapat nilai terbaik? Karena reputasi guru dan sekolah
dipertaruhkan saat ujian sekolah khususnya Ujian Nasional.
* Tekanan dari Sesama Siswa
Semangat kompetisi akan semakin memanas menjelang ujian sekolah. Setiap
siswa berlomba-lomba untuk menunjukkan prestasi terbaik. Bahkan segala
cara dilakukan untuk meraih nilai tertinggi termasuk menyontek maupun
mencari bocoran soal.
* Tekanan dari Diri Sendiri
Siswa berprestasi cenderung menjadi perfeksionis. Sehingga jika suatu
kemunduran atau kegagalan terjadi, entah itu nyata atau masih belum
terjadi, dapat membuat stress dan depresi. Mengapa ini terjadi? Menurut
psikolog Dra. Yuli Suliswidiawati, M.Psi, mengutarakan bahwa stress atau
perasaan-perasaan negatif tersebut lebih disebabkan karena
ketidaksiapan diri siswa. Perasaan negatif lainnya adalah karena
ketidakjelasan informasi tentang Ujian Nasional itu sendiri. Mereka
berhenti dengan kata ”bingung bu”, dan merasa terlalu banyak yang
berkecamuk di benaknya. Terungkap bahwa sebagian dari penyebab stress
yang terjadi pada mereka yang akan menghadapi Ujian Nasional itu adalah
”ketakutan-ketakutan” yang berkaitan dengan orang tua mereka. Anak takut
dimarahi orang tua, takut mengecewakan orang tua, takut dipermalukan
orang tua di depan teman, takut orang tua marah kalau hasilnya kurang
memuaskan, takut orang tua kecewa jika mendapat nilai tidak baik, takut
tidak dapat masuk sekolah yang diinginkan orang tua, takut tidak bisa
sebaik saudara dan teman yang selama ini selalu menjadi bahan
perbandingan dari orang tua dan takut kehilangan fasilitas yang selama
ini selalu menjadi ancaman orang tua.
Perasaan berkecamuk itu memang benar-benar campur aduk, antara lain
merasa harus lulus, ingin lulus dengan nilai baik, ingin bisa masuk
sekolah yang diinginkan, tegang karena takut tidak lulus, takut nilai
jelek, takut tidak bisa masuk sekolah yang diinginkan, takut tidak bisa
menjawab soal ujian, takut jika sedang ujian mendadak blank, takut
panik, takut pengawasnya galak, takut salah melingkari, takut salah
mengisi data pribadi, dan takut malu pada teman, dan perasaan-perasaan
negative lainnya.
Bagaimana sebaiknya dengan orang tua di rumah? Psikolog dari
Universitas Indonesia, Tika Bisono mengatakan, orang tua tidak perlu
panik menghadapi ujian.”Dukungan orangtua dapat dengan membantu anak
menyelesaikan soal-soal latihan,” pesannya. Jika orangtua tidak memberi
semangat bisa mengakibatkan stress pada anak. Apalagi terhadap diri siswa
yang akan menjalani Ujian Nasional. Tidak jarang siswa merasa UN sebagai ajang
mempertaruhkan reputasi diri. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut,
peran orangtua dan guru di sekolah sangat dibutuhkan dalam menunjang
keberhasilan anak menempuh ujian. Guru dan orang tua harus mampu
memotivasi dan meluruskan persepsi siswa tentang ujian nasional
tersebut.
Dengan menjadi contoh yang baik tentu dapat membantu. Tunjukkan pada
anak bahwa orangtua mampu menghadapi pekerjaan rumah tangga dengan baik.
Tunjukan sikap positif saat menghadapi tantangan tersebut. Sebagai guru
bekali siswa dengan pengetahuan yang cukup agar siswa merasa lebih siap
menghadapi soal-soal yang akan diujikan.
Tanggapan positif juga bisa membantu anak tenang menghadapi Ujian Nasional. Ucapan
akan sangat berpengaruh, untuk itu hindarilah ungkapan yang terkesan
menuntut dan mengkritik. Bahkan Psikolog anak, Elly Risman Musa, meminta
agar kita selaku orang tua memasuki dunia anak.
Saat ini anak sedang bersiap menghadapi ujian, apalagi untuk anak-anak
yang sibuk menghadapi ujian nasional. Kalau dia bersekolah di sekolah
yang baik atau favorit, tentu sekolah akan mengeluarkan kebijakan kepada
guru-guru, wali kelas, dan siswa untuk mempertahankan status atau mutu
sekolah. Hal ini dapat berbentuk target-target yang harus dikejar oleh
masing-masing wali kelas, kemudian wali kelas akan berkompetisi agar
kelas yang dipimpinnya masuk ranking tiga besar nilai tertinggi dari
seluruh kelas tiga yang ada di sekolah. Tentu yang menjadi mesinnya
adalah anak-anak. Mereka dipacu dengan pendalaman materi dan dibanjiri
dengan nasihat-nasihat agar rajin belajar. Sehingga anak-anak merasa
tertekan jiwanya. Dalam kondisi lelah dan tertekan sampai di rumah
orangtua melakukan hal yang sama. Suasana rumah dapat berubah sedikit
tegang. Anak-anak sibuk karena harus belajar dan menyelesaikan pekerjaan
rumah. Sedangkan orang tua, biasanya juga mulai senewen. Tanpa terasa,
bahasa tubuh orang tua juga berubah. Kalau sudah seperti ini, sebagai
reaksi dari stimulus orangtua yang tegang adalah anak-anak akan jadi
grogi sendiri. Sudahlah mau ujian, orangtua makin galak, rumah pun jadi
tempat yang kurang menyenangkan.
Oleh karena itu solusinya adalah orangtua wajib menjadi pendamping utama
bagi anak dalam menghadapi masa ujian seperti saat ini hingga pasca
pelaksanaan Ujian Nasional. Mendampingi bukan hanya secara fisik, tetapi juga
memotivasi anak tanpa penekanan dan berdialog terhadap berbagai problem
yang dihadapi anak dan mendiskusikan solusinya.
Selain itu, juga menguatkan mental anak agar bersikap fleksibel dalam
menghadapi masalah dan tidak menambah beban anak dengan tuntutan yang
tinggi. Orangtua juga sebaiknya tidak menjadikan anak sebagai alat untuk
mewujudkan ambisinya sehingga anak menjadi terbebani. Jika gagal, anak
tidak hanya kecewa karena harapannya sendiri gagal tetapi juga merasa
telah mengecewakan orangtua dan guru.
Selanjutnya sebagai pendidik, guru juga harus peduli terhadap sisi
kematangan kepribadian siswa di samping keunggulan intelektualnya. Guru
juga harus mampu menciptakan pribadi yang siap berkompetisi secara sehat
dan siap dengan segala konsekuensinya, dan matang dalam menghadapi
berbagai problem dan siap memimpin bangsa dengan kecerdasan dan
kebijakannya. Dengan harmonisnya hubungan dan berkurangnya beban emosi,
diharapkan anak akan lebih baik dan lebih siap menghadapi ujian. Dan
yang penting adalah menjaga kesehatan dan banyak berdoa juga sesuatu
yang tidak boleh dilupakan dalam menghadapi ujian. Semoga!!!