Sistem pendidikan yang menyeragamkan dapat mematikan kreativitas
anak. Namun, penyeragaman pendidikan inilah yang justru dikembangkan
pemerintah lewat kebijakan ujian nasional (UN) di jenjang SD-SMA/SMK
sederajat.
Kebijakan UN yang "memvonis" siswa menyuburkan
pendidikan yang bersifat hafalan. Akibatnya, kreativitas anak-anak
terpasung karena kebebasan untuk berimajinasi tidak dikembangkan dalam
pendidikan di kelas-kelas.
"Coba lihat, ketika di kelas akhir SD,
SMP, dan SMA, mata pelajaran lain yang tidak diujinasionalkan dianggap
tidak penting. Sebaliknya, mata pelajaran UN diajarkan lebih intensif,
termasuk lewat bimbingan tes," kata Guru Besar Emeritus Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar, dalam acara peluncuran tiga Buku pendidikan dan perayaan HUT ke-80 di Jakarta, Sabtu (7/7/2012).
Tilaar
yang juga ahli manajemen pendidikan ini mengatakan dirinya bukan
antievaluasi. "Tetapi harus jelas tujuan UN itu untuk apa? Tujuannya
bukan memvonis siswa, melainkan harusnya memvonis birokrasi pendidikan
di tingkat pusat hingga sekolah supaya tahu perbaikan yang harus
dilakukan," ujar Tilaar.
Tilaar mengatakan, tak terlihat terobosan
pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional Indonesia yang
selalu tertinggal dari negara-negara tetangganya. Hal ini juga karena
pendidikan di Indonesia bukan untuk melayani kebutuhan anak-anak dengan
mengembangkan potensi yang ada di negeri ini.
Tilaar mencontohkan,
Pemerintah Korea Selatan saja berani mengeluarkan kebijakan untuk
melarang siswa ikut bimbingan belajar di lembaga di luar sekolah.
Tujuannya karena pemerintah tidak ingin siswa hanya mengejar akademik.
"Dalam
perkembangan dunia saat ini, pendidikan yang dikembangkan adalah yang
mampu mengembangkan kreativitas anak. Sebab, kreativitas dapat mendorong
lahirnya penemu-penemu, termasuk juga wirausaha yang dibutuhkan untuk
mendukung kemajuan suatu negara," papar Tilaar.
ANGGA. Powered by Blogger.